Jumat, 11 Maret 2016

Review “Rumah Baca Suprau”



Menulis, bagi saya bukan hal yang mudah. Bukan karena menulis itu sulit, melainkan karena saya tidak terbiasa melakukannya. Tetapi, saya akan terus mencoba membiasakan diri untuk menulis. Akan kupaksa otak ini berimajinasi, dan kulatih jari-jari ini bergerak merangkai satu demi satu kata hingga menjadi sebuat tulisan yang layak dibaca. Nah, kali ini saya akan melakukan review terhadap sebuah tulisan bertema Rumah Kaca Suprau yang dipublish oleh Winarsi Apriastuti Aswan, melalui situs blognya di www.aswanwiwi.com
 
Di dalam tulisannya, Winarsi Apriastuti Aswan menjelaskan sebuah skenario indah yang Allah buat untuk orang-orang positif yang selalu pantas untuk disyukuri. Winarsi meyakinkan kepada setiap pembacanya bahwa apa yang setiap orang jalani saat ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan sebuah ketetapan Allah yang sepatutnya bisa dijalani dengan bijak. Sekaligus, mengajak pembaca untuk terus mengintrospeksi diri tentang kebaikan apa yang telah dilakukan hari ini. Tentu, hal itu dimulai dari diri penulis, yang sangat jelas diungkapkan dalam penggalan tulisannya “Kebaikan apa yang sudah saya lakukan hari ini? Sudahkah saya membuat paling tidak satu orang yang saya jumpai hari ini tersenyum? Atau hari yang saya lalui justru berakhir dengan kesia-siaan?”

Sebenarnya, tulisan ini lebih bercerita tentang pengalaman penulis bertemu dengan orang-orang hebat di Kota Sorong, Papua yang telah mendedikasikan diri sebagai volunteer Buku Untuk Papua. Juga tentang anak-anak Papua yang memiliki semangat belajar luar biasa di tengah keterbatasan sarana belajar yang ada. Cara penulis menyampaikan kisah singkatnya di Rumah Baca Suprau begitu mengalir. Sehingga pembaca pun bisa ikut measakan kebahagiaan yang penulis rasakan. 

Sayangnya, penulis begitu asyik dengan ceritanya bersama anak binaan Rumah Baca Suprau bernama Dewi, sehingga penulis melupakan beberapa informasi penting yang sangat dibutuhkan pembaca. Hal utama yang dilalaikan penulis adalah data. Melihat judul besar tulisan Winarsi, saya sebagai pembaca tentu akan bertanya “di mana Rumah Baca Suprau itu?” Sementara di dalam tulisannya, penulis hanya menyebutkan lokasi secara umum, yakni di Suprau, Papua. Mungkin bisa ditambahkan informasi yang lebih detail, misal berapa jarak dari Kota Sorong ke Suprau, termasuk jenis transportasi apa saja yang bisa digunakan  untuk tiba di lokasi. Informasi tentang siapa saja para volunteer BUP dan data jumlah anak binaan BUP juga kurang.

Penulis memang menambahkan foto, tetapi gambar yang dilampirkan tidak cukup kuat untuk mendeskripsikan tentang kondisi Rumah Baca Suprau. Sebaiknya penulis bisa secara khusus menjelaskan tentang keberadaan Rumah Baca Suprau, sebelum lebih jauh menceritakan pengalaman pribadinya di RBS.

Penulis juga kurang memaparkan tentang kontribusi apa yang diharapkan dari pembaca melalui tulisannya ini. Meski gaya penulisannya sudah cukup baik, tulisan ini akan berakhir sebagai catatan pribadi penulis saja. Mengenai identitas penulis, sudah tepat karena dicantumkan dengan jelas di bagian atas blog. Sehingga siapa pun yang membacanya, bisa langsung mengetahui penulisnya. 

Berdasarkan pedoman umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD), penulis sudah sangat teliti dalam penggunaan huruf kapital, huruf miring, kata depan, penempatan partikel serta bebas dari kesalah ketik alias typo.

Secara keseluruhan, tulisan singkat terkait pengalaman penulis ke Rumah Baca Suprau sangat menarik dari cara penyajiannya. Dan, terlepas dari beberapa kekurangan yang saya paparkan di atas, penulis berhasil membuat penasaran setiap pembacanya untuk mencari tahu lebih banyak tentang Rumah Baca Suprau. Terima kasih :)




#NulisBlogSobat







Senin, 08 Februari 2016

Menjajal Keindahan Kota Para Daeng



Makassar, merupakan kota metropolitan yang berada di pulau Sulawesi, atau lebih tepatnya di provinsi Sulawesi Selatan. Makassar yang sejak abad ke-16 dikenal sebagai Bandar Niaga, terus mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Terutama di sektor ekonomi, yakni mencapai 9,31 %, dengan jumlah pendapatan per kapita 27,42 juta rupiah (2010).



Berdasarkan letak geografisnya, Makassar berada dititik koordinat 119°24’17,38” Bujur Timur dan 5°8’6,19” Lintang Selatan, atau berada pada pantai barat Pulau Sulawesi (Selat Makassar). Makassar yang pada tahun 1971 sempat mengganti nama menjadi Ujung Pandang, memiliki luas wilayah 17.577 Ha atau 175,77 km², dengan jumlah penduduk 1.339.374 jiwa (hasil sensus 2010). Tahun 2011, warga Makassar sudah mencapai 1.352.136 jiwa, yang terdiri dari 667.681 laki-laki, dan 684.455 perempuan.

dokumen pribadi
Disebelah utara, Makassar berbatasan dengan Kabupaten Maros. Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Gowa. Sebelah selatan, ada Kabupaten Gowa dan Takalar. Sementara, disebelah barat, ada Selat Makassar. Secara administrasi pemerintahan, Makassar yang dipimpin oleh seorang Walikota,  terbagi dalam 14 wilayah kecamatan, 143 kelurahan, 980 RW, dan 4.867 RT. Di bawah kepemimpinan Walikota, DR. H. Ilham Arief Sirajuddin, perwajahan Makassar mengalami banyak perubahan. Makassar terus bersolek, dan kian dilirik dunia. Beberapa mega proyek Ilham, diantaranya Revitalisasi Karebosi, Revitalisasi Pantai Losari, Masjid Terapung, dan Pembangunan Monumen Bawah Langit di jalan Metro Tanjung Bunga. Semua proyek tersebut cukup sukses mendongkrak kunjungan wisatawan, dan menambah pundi-pundi Pendapatan Asli Daerah (PAD), meski dalam pengerjaannya diwarnai banyak kontroversi. Seiring perkembangan, Makassar pun kini menjadi kota tujuan MICE yakni Meeting, Incentives, Convention and Exhibition sebagai roda penggerak pariwisata di Kota Para Daeng ini. 

dokumen pribadi
Makassar sekarang memang jauh lebih indah. Mungkin Anda pun akan sependapat dengan saya jika Anda meluangkan sedikit waktu menikmati kota ini bukan dari layar televisi saja. Salah satu momen terlaris bagi para pelancong yang berkunjung ke Makassar adalah saat di mana matahari mulai terbenam atau lebih akrab kita sebut sunset. Keindahan senja penuh warna di Losari selalu bisa memanjakan mata siapa pun. Bukan sekedar sajian senja, Anda yang datang bersama keluarga juga bisa bersantai sambil menikmati beragam penganan khas Kota Makassar, terutama pisang epe’. Pisang epe’ berbahan dasar pisang kepok matang yang dibakar dan dipipihkan, lalu disirami gula merah yang telah dimasak. Pisang epe’ kekinian pun telah berinovasi dengan varian rasa yang tentunya masih akrab di lidah masyarakat Indonesia maupun warga mancanegara, seperti pisang epe’ rasa keju, durian, dan coklat. Harganya pun tidak akan merobek kocek Anda, mulai dari Rp. 10.000,- hingga Rp. 15.000,- per porsi. “Pisang epe’nya sangat enak, dan ini cuma ada di Makassar. Kurang lengkap rasanya kalau ke Makassar tidak makan pisang epe’,” begitulah pengakuan Ardi, salah seorang pengunjung di Losari sore itu (07/02). 

dokumen pribadi
Angin sepoi-sepoi di Pantai Losari terus saja berhembus. Pelataran Losari yang kini telah disulap bak ruang tamu keluarga setiap sore sesak oleh ratusan manusia. Anak kecil berlarian kesana sini sambil menerbangkan pesawat mainan yang dibelinya dari salah satu pedagang asongan di anjungan Losari. Ya, hingga saat ini masih bisa kita lihat puluhan hingga ratusan pedagang kaki lima yang menaruh peruntungan mereka di seputaran Losari. Padahal Pemerintah Kota Makassar yang terus berganti nahkoda kerap kali “membersihkan” PKL dari pelataran anjungan Pantai Losari. Bahkan tidak jarang terjadi adu fisik antara pedagang dan Satpol PP. Seperti yang terjadi pada tahun 2015 lalu, lebih dari satu kali peristiwa bentrokan yang menyebabkan korban luka saat aparat Satpol PP melakukan penertiban PKL di Pantai Losari. Sebagai bentuk protes kepada pemerintah, ratusan pedagang juga sempat menduduki gedung DPRD Kota Makassar di Jl. AP. Pettarani tepatnya pada September 2015 silam.


dokumen pribadi
Sepaham dengan para pendahulunya, Walikota Makassar, Muhammad Ramdhan Pomanto tahun 2016 ini siap memoles Pantai Losari dengan kedok penataan pedagang kaki lima. “Nantinya para pedagang akan dikumpulkan dalam satu bangunan yang Pemerintah siapkan di sekitar pelataran selatan Masjid Terapung. Semua pedagang yang Pemerintah akomodir boleh menjajakan dagangannya selama 24 jam,” jelas Danny, sapaan akrab Walikota, Muhammad Ramdhan Pomanto. “Kita tidak lagi meizinkan pedagang kaki lima berkeliaran di Losari selain titik yang sudah ditentukan,” tegas Danny di ruang kerjanya, Selasa (29/12/2015). Eksistensi pedagang kaki lima sudah seperti pemanis bagi perwajahan Losari. Semoga ada solusi terbaik yang tidak merugikan salah satu pihak.

Membahas keindahan Pantai Losari, memang tidak ada ujungnya. Selain pelataran Pantai Losari, kini telah dibangun pelataran Bugis-Makassar, dan Toraja-Mandar yang kerap menjadi spot untuk berfoto atau sekedar duduk-duduk menanti pergantian hari. Monumen Bawah Langit yang berada di sebelah kanan Masjid Terapung, juga bisa membantu Anda melintasi sejarah terkait tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan seperti Sultan Hanuddin dan Pangeran Diponegoro. 

dokumen pribadi
Anda tahu becak? Ya, kendaraan roda tiga yang dikayuh secara manual juga diabadikan dalam bentuk tugu di salah satu sudut Losari sebagai alat transportasi tradisional Makassar. Selain itu, juga terdapat tugu tarian tradisional Kota Daeng, Peppe Pepeka Ri Makka dan tari Paraga, serta tugu kembar Adipura sebagai wujud penghargaan Pemerintah Indonesia kepada Kota Makassar atas keberhasilannya dalam hal kebersihan dan pengelolaan lingkungan. Penasaaran ada keindahan apa lagi di Kota Anging Mammiri? Ayo ke Makassar!





#NulisBlogSobat2016 #Reportase

Jumat, 29 Januari 2016

Bertemu Malaikat Subuh

Bip...bip...bip..bip..

Dalam kondisi setengah sadar, tanganku meraba-raba dan mencari sumber suara yang menggagalkan misiku mengejar pelaku tabrak lari di depan salah satu mini market di Jalan Talasalapang, Makassar. Ketemu! Tangan kiriku lalu meraih handphone yang terselip di antara tumpukan boneka. Dengan mata setengah terbuka, saya melihat alarm bangun pagi yang terus memaksaku menanggalkan selimut dan melepaskan guling yang terus saja kupeluk. Berhasil! Waktu di HP menunjukkan pukul 04:27 wita. Tanpa berpikir panjang, saya bergegas bangkit dan meninggalkan tempat tidur. Dengan sedikit berlari, saya menuruni anak tangga dan meraih handuk di sandaran kursi kayu di dekat meja makan. Brukkk, tanpa sadar saya membanting pintu kamar mandi. Byar byur...byar byur.. sikat gigi, pakai sabun dan shampo saya selesaikan hanya dengan satu putaran. Ggrrrrr, saya menggigil. 

Usai menyelesaikan urusan di kamar mandi, saya kembali bergegas menaiki anak tangga menuju kamar yang tadi saya tinggalkan dalam kondisi gelap. Ceklek, kunyalakan sakelar lampu yang berada di dekat pintu kamar. Kakak yang menemani saya tidur terbangun karena silaunya cahaya lampu kamar. "Sekarang jam berapa?" tanya kakakku singkat. "Saya telat kak," jawabku. Kakakku pun cuma bisa mengomel dalam hati mendengar jawabanku yang tidak nyambung. Tanpa menghiraukan kakakku, saya berusaha berkonsentrasi mengenakan pakaian, menyisir rambut, lalu mengambil jaket yang tergantung di belakang pintu kamar. "Kakak saya berangkat ya. Assalamu'alaikum," pamitku dengan tetap tergesa, dan tidak lagi menunggu kakak menjawab salamku. 

Jam tangan Eiger yang melingkar di pergelangan tangan kiriku sudah menunjukkan pukul 04:49 wita. "Maaf Revo, hari ini kita tidak ada pemanasan." Saya bergumam dalam hati berharap Revo bisa mengerti. Kubuka pintu pagar dan mendorong Revo keluar. Brummm, sekali stater Revo langsung meraung. Selama bertahun-tahun motor Honda Revo milik kakakku ini memang selalu bisa diandalkan dalam situasi genting.
Kutancap gas, speedometer Revo menunjukkan kecepatan rata-rata 60 km/jam. Saya menyusuri Jalan Bontotangnga yang masih sepi, lalu berbelok ke Jalan Emiselan III. Tiba-tiba dari kejauhan, tepat di tugu Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Je'neberang mataku menangkap sebuah objek yang bergerak. Saya sedikit mengurangi kecepatan Revo, dan semakin jelas sosok yang kini melambaikan tangannya. Ada rasa takut yang sulit kugambarkan menyerang pikiranku subuh itu. Takut jika saja dia adalah penjahat yang berpura-pura mencari tumpangan, lalu menodongku dengan senjata tajam dan membawa kabur Revo. Bahkan, sempat terlintas bahwa dia bukan manusia, melainkan hantu yang gentayangan. Perasaanku bercampur aduk, hati kecilku berkata dia hanya orang yang membutuhkan pertolongan. Tetapi rasa takutku masih mendominasi. Belum lagi pikiran khawatir terlambat tiba di kantor, mengingat saya harus mempersiapkan studio untuk program Jendela Timur Pagi yang akan disiarkan langsung pukul 05:30 wita di Kompas TV Makassar. 

Sebelum hati dan pikiranku menemukan kesepakatan, kakiku dengan refleks menginjak rem. "Mau ke mana Kek?". Mulutku tanpa dikomando bertanya kepada lelaki paruh baya, yang mengenakan sarung dan baju koko berwarna putih sambil memegang payung. Ya, saat saya meninggalkan rumah memang sedikit gerimis. "Nak, bisa antarka ke masjid? Terlambatka sholat subuh kalau saya jalan kaki," pinta si kakek dengan suara sedikit parau. "Naik maki," ucapku dengan pasrah akan tiba terlambat di kantor. "Mauki diantar ke masjid mana Kek?" tanyaku lagi. "Di masjid Skarda Nak," balas sang Kakek sambil menunjuk jalan ke arah kompleks Skarda N. Di dalam hati saya semakin yakin bakalan terlambat karena jalan ke masjid berlawanan arah menuju kantorku di Jalan Pengayoman. Ke masjid saya harus mengambil jalan lurus, sedangkan ke kantor harus belok ke kanan. 

Sepanjang perjalanan, sang Kakek yang kubonceng sambil memegang kedua pundakku terus melafalkan ayat-ayat Al Qur'an sambil sesekali bertanya padaku. "Mauki ke mana Nak?" "Mauka ke kantor," jawabku singkat. Dari spion Revo, kulihat si Kakek hanya menganggukkan kepala dan lanjut melafalkan sebuah ayat Al Qur'an. "Belok kiriki Nak," si Kakek menunjukkanku arah. "Di depan belok kiri lagi, trus ke kanan yang ada portal." Wah, si Kakek seorang navigator yang handal. "Di sinimi Nak," si Kakek menghentikanku sambil menepuk-nepuk pundakku. Saya pun berhenti dan memarkir Revo tepat di depan pintu masjid. 

Saat tiba di masjid, muadzin baru saja mengumandang adzan. Si Kakek pun turun dari motor sambil menenteng payung yang sedari tadi disimpan di atas jok. "Terima kasih Nak. Itu tadi do'a keselamatan, bacaki terus kalau pergi-pergi," ucap si Kakek sambil berlalu ke dalam masjid. Saya hanya bisa terdiam, kembali kunyalakan Revo dan memutar arah menuju kantor. Masih gelap dan dingin. Kususuri Jalan Tamalate, Hertasning, dan Bau Mangga sambil berusaha mengingat do'a keselamatan yang dititip si Kakek padaku. Dan saya gagal. Saya gagal mengingat satu pun ayat dari do'a-do'a lelaki misterius itu.

Saya berusaha fokus untuk tiba secepatnya di kantor. Tiba di Jalan Pengayoman, kupercepat laju Revo memasuki gerbang kompleks kantor. Alhamdulillah, saya tiba dengan selamat. Seperti biasa, kuparkir Revo di dekat tiang bendera di halaman kantor. Saya berlari kecil menuju mesin check lock di atas meja security. Klik! Saya heran melihat catatan di kertas absensi masuk yang menunjukkan pukul 05:00 wita. Otakku berpikir keras, logikaku pun sulit mencerna apa yang terjadi subuh itu. Saya kembali berlari menuju ruang master control untuk melihat jam dan mengambil kunci ruangan studio. Jam digital di MCR juga menunjukkan waktu yang sama. 

Mungkinkah perjalananku yang serba tergesa-gesa tadi hanya kutempuh dalam waktu 11 menit saja? Padahal waktu normal perjalanan dari rumah ke kantor biasanya kulalui rata-rata 15 menit. Saya anggap ini adalah hari keberuntunganku. Saya tidak terlambat, dan tidak mendapat surat teguran dari kantor. Siaran pun berjalan dengan lancar.

dokumen pribadi

Esok hari, saya berangkat lebih awal berharap bisa bertemu si Kakek. Subuh demi subuh pun berlalu tanpa bisa bertemu lagi dengan Kakek yang entah siapa namanya. Saya berharap, si Kakek yang kujumpai di suatu subuh 2 tahun silam tetap dalam kondisi sehat. Bagiku, dia adalah Malaikat Subuh yang membawa kebaikan padaku hingga detik ini. 

#NulisBlog

Sabtu, 23 Januari 2016

ANS



17 Januari 2012
Oe..! Oe...! Oe...!
Suara tangisan bayi terdengar sangat lantang dari ruang bersalin rumah sakit milik dr. Masyita di Jalan Buakana, Makassar. Alhamdulillah bayi mungil berjenis kelamin perempuan telah lahir dengan berat sekitar 3 kilo gram dari rahim seorang perempuan muda berdarah Enrekang, Rusmiyani. Rusmiyani sudah seperti kakak buatku. Belakangan ini, ia mengabdikan diri di Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Selatan, yang juga instansi pemerintah tempat ayahnya mencari nafkah sebagai PNS. Hhmmm.. sementara kita keep dulu ya pembahasan soal kak Umi, sapaan akrabku ke Rusmiyani.

Mari kita fokus pada bayi, yang merupakan cucu perempuan ke-empat dalam keluarga besar H. Abdul Latief Sanusi, Opaku. 
Proses kelahiran bayi yang akhirnya disepakati diberi nama Alifa Naila Sahra sungguh sangat dramatis. Perjuangan Naila untuk hidup di dunia fana ini diwarnai tragedi terlilit tali pusat atau bahasa kedokterannya plasenta saat di pintu rahim. “Dokter bayinya tercekik,” teriak salah seorang perawat yang turut membantu proses persalilan. Sontak saya pun panik mendengar suara gaduh yang samar-samar terdengar dari bilik berukuran 6 meter persegi. Menjawab rasa penasaranku, saya berusaha mencari celah untuk bisa mengintip ke dalam ruangan berpintu kaca itu. Setelah memanjat beberapa anak tangga, akhirnya saya menemukan celah untuk mengintip dari balik kaca yang tirainya sedikit tersingkap. Ternyata reaksiku berlebihan, tidak sedikit pun ada kepanikan di dalam sana, dokter dan para perawat tampak sangat tenang. Singkat saja, mereka berhasil menyelamatkan Naila dari renggutan maut.
 
Lantas, apa yang menyebabkan seorang bayi bisa terlilit tali pusat? Dan, resiko apa yang mengancam jika bayi lahir dalam kondisi terlilit plasenta? Berdasarkan penjelasan dari sudut pandang kedokteran, sebelum usia kehamilan menginjak 8 bulan, posisi kepala janin umumnya belum berada di bagian atas panggul. Ukuran bayi pun relatif kecil dengan jumlah air ketuban yang banyak, sehingga besar kemungkinan bayi terlilit tali pusat. Ukuran plasenta yang panjang yakni lebih dari 100 centimeter, juga memungkinkan bayi terlilit tali pusat. 

Soal resiko, memang selalu ada. Sebagian dokter berpendapat, terlilit tali pusat bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan, namun harus tetap diwaspadai. Pasalnya, puntiran tali pusat yang berulang-ulang bisa menyebabkan arus darah dari ibu ke janin bisa tersumbat total. Lilitan yang terlalu erat juga sangat berbahaya, karena kompresi atau penekanan tali pusat akan membuat janin kekurangan oksigen.

Bayi terlilit tali pusat, ternyata ada mitosnya juga loh.. Masyarakat jaman dulu percaya, bayi yang lahir dengan tali pusat terlilit, kelak akan pantas mengenakan pakaian apa saja. Anda boleh percaya, boleh juga tidak. Namanya juga mitos.

Apa kabar Naila??

Sejak keluar dari rumah sakit, Naila tinggal bersama kakek neneknya di Jalan Jipang Raya No. 1, Kelurahan Karunrung, Kecamatan Rappocini, Makassar. Di rumah milik pasangan H. Abdul Latief Sanusi dan Dewi Raechan ini dihuni banyak orang, termasuk saya. Di rumah, Naila adalah penghuni paling kecil. Kehadirannya membawa keceriaan dan kebahagiaan di keluarga ini, layaknya pengantin baru yang sudah bertahun-tahun menanti momongan. Naila bagaikan mainan yang kami perebutkan di rumah, saya pun tidak pernah merasa puas jika hanya menggendongnya beberapa menit. Tetapi ‘tak apalah karena yang lain sudah menunggu giliran. Naila terus tumbuh menjadi anak yang pintar dan kuat, kuat karena begitu banyak kehilangan yang harus ia hadapi diusianya yang masih sangat dini. Kehilangan paling pahit yang harus Naila rasakan adalah saat di mana ibunya meninggal dunia tepat di hari ulang tahunnya yang ke-2, Jum’at 17 Januari 2014. Rusmiyani, ibu yang mengandung Naila menghembuskan nafas terakhirnya di ruang ICU RS Grestelina. Sejak saat itu, semua orang di rumah menjadi ibu buat Naila. 

Belum lagi Naila paham soal arti kematian, ia pun kembali kehilangan sosok yang sangat dekat dengannya. 7 Februari 2015, tepat sepekan setelah Naila diopname di RS Bahagia karena demam tinggi, Limbong, kakeknya yang tidak lain adalah ayah ibunya juga meregang nyawa akibat serangan jantung. Maut memang mutlak menjadi rahasia Allah SWT, 26 Mei 2015 takdir kembali mempertemukan Naila dengan kematian. Opaku, H. Abdul Latief Sanusi yang juga kakek Naila harus kembali kepangkuan sang khalik juga karena serangan jantung. 

17 Januari 2016, hari ini usia Naila tepat 4 tahun. Tidak ada perayaan meriah layaknya momen pertambahan usia pada umumnya. Mengingat hari ini juga bertepatan dengan kepergian ibunya 2 tahun silam akibat maag akut. Diusianya sekarang, Naila memiliki bobot 28 kilo gram, jauh di atas berat normal anak seusianya dengan tinggi melewati pinggang orang dewasa. Neinei, begitu saya selalu memanggilnya juga jadi peniru yang sangat baik. “Naila, kalau duduk yang sopan. Kakinya tidak boleh dinaikkan ke meja,” tegur kak Riri, tante yang kini jadi ibunya Naila. “Ih, tidak apa-apa Mama, itu kakak Dede juga kasi naik kakinya di meja,” timpal Naila dengan polosnya sambil menunjuk ke arahku. Mendadak saya merasa jadi tersangka utama, saya berusaha menenangkan diri. Namun, tidak kutemukan kalimat yang pas untuk membela diri. Saya hanya bisa pasrah dan mengaku salah. Sejak peristiwa memalukan itu, saya dan orang-orang di rumah makin ekstra berhati-hati dalam bersikap dan berucap. 

Naila, semoga Allah terus menjagamu dalam pelukanNYA. Semoga pertambahan usiamu senantiasa berlimpah berkahNYA. Sehat selalu dan teruslah jadi obat bagi penatku saat lelah mulai menggerogoti raga ini. Really miss you Naila.


#NulisBlog2016 #SobatLemINA




Jumat, 08 Januari 2016

Masihkah Aku Sahabatmu?


Pagi ini, hujan turun begitu deras. Rayuan untuk tidak ke kantor, seolah terus berbisik di ujung telinga Yani. Mata yang baru bisa  Yani pejamkan pukul 03:00 dini hari tadi, pun masih terasa berat. Tetapi, semangat Yani untuk mengumpulkan rupiah, memaksa seluruh tubuhnya untuk bangkit dari rebahan. 

Menjalani rutinitas di kantor, adalah hal yang sangat menjemukan buat Yani beberapa bulan terakhir ini. Tetapi, bekerja menjadi hal wajib yang harus dilakukan Yani, demi bertahan hidup di Kota para Daeng ini. Maklum saja, status Yani memang anak rantau, yang masih menumpang hidup di rumah Rara, sahabatnya. 

Beruntung, keluarga Rara sangat baik. Mereka sudah menganggap Yani seperti anak sendiri. Memperlakukan Yani tidak layaknya orang menumpang pada umumnya. Bahkan, disaat Yani berselisih paham dengan Rara, orang tua Rara justru lebih membela Yani. "Hhmmm.. senangnya," gumam Yani, tatkala orang tua Rara kembali berada dipihaknya. "Tetapi SUMPAH, tidak sedikitpun ada niatanku untuk merebut perhatian orang tua kak Rara," tegas Yani yang memang lebih muda 2 tahun dari Rara.

Yani, dengan kepribadiannya yang sangat ramah tidak sulit untuk mendapatkan tempat istimewa di hati keluarga besar Rara. Setiap ada hajatan keluarga, Yani selalu diajak dan turut diperkenalkan sebagai salah satu anggota keluarga. Bahkan, disalah satu deretan foto keluarga di dinding rumah Rara, ada wajah Yani ikut terpajang. Sayangnya, hal itulah yang menyebabkan hubungan persahabatan Yani dan Rara semakin renggang. Perselisihan di antara mereka pun sangat gampang tersulut. 

Dulu,

Yani dan Rara adalah dua sahabat ‘tak terpisahkan. Mereka teman semasa kuliah, tepatnya Yani berada dua tingkat di bawah Rara. Mengambil jurusan yang sama di Fakultas Sastra di Kampus Merah, membuat Yani dan Rara sering bertemu. Apalagi Yani dan Rara menjadikan perpustakaan kampus sebagai rumah ke-dua mereka. Banyak sekali kesamaan yang mereka miliki, mulai dari membaca buku ber-genre romantis, wisata kuliner, hingga kebiasaan ngupil di depan dosen saat kelas berlangsung. 

Yani, Rara bagaikan dua sisi mata uang ‘tak terpisahkan. Di Kampus, mereka mendapat julukan twin  angel. Yani, memiliki tinggi 167 centimeter, rambut hitam sebahu, dengan wajah sedikit oriental. Sedangkan Rara, tidak berbeda jauh dengan tinggi 165 centimeter. Rambutnya sepinggang dan selalu diurai, kulitnya lebih gelap dan wajahnya lebih tirus. Status jomblo sama sekali tidak pernah mereka sandang, bahkan antrian kaum adam yang setiap saat mendo’akan mereka cepat putus masih tidak terukur. Ke mana perginya Yani, di situ pasti ada Rara. Begitulah…

Sampai akhirnya, Rara mengajak Yani tinggal di rumahnya, setelah lulus kuliah sahabatnya itu memutuskan menetap dan bekerja di Kota ini. 

Keharmonisan twin angel tidak berlangsung lama. Rara yang kini merasa tersisihkan di rumah sendiri, terus saja menunjukkan penyesalannya telah mengajak Yani tinggal seatap. Rara selalu saja ketus setiap kali diajak bicara. Bahkan tidak jarang omongan Yani diabaikan begitu saja. Yani pun mulai merasa tidak nyaman. Sahabatnya yang selalu menolak diajak bicara baik-baik membuatnya sangat bersedih. 

Suatu malam, di balik remang-remang cahaya lampu kamar, Yani mulai menuliskan sesuatu disecarik kertas.

Dear Rara,
Tidak ada rasa bersalah melebihi rasa bersalahku karena membuatmu merasa terasingkan. Sebenarnya kamu pun tahu Aku tidak pernah merencanakan semua ini, meski kuakui keluargamu memang memperlakukanku sangat baik. Mengapa kedengkian dan rasa takut kehilangan kasih sayang orang tuamu menjadi virus yang terus menggerogoti persahabatan kita? Sungguh ini tidak seharusnya terjadi. Bagiku, kamu adalah sosok teman, saudara, sekaligus sahabatku, dan selamanya akan seperti itu.

Semoga Aku masih menjadi sahabatmu..

Keesokan hari, Rara menemukan kertas buram berisikan pesan Yani di atas meja riasnya.
dokumentasi pribadi

Yani memutuskan untuk pergi, kembali ke Kota kelahirannya di tanah Melayu. Bukan karena Ia marah pada sahabatnya itu. Yani pergi karena tidak ingin membiarkan sahabatnya terus-terusan membencinya. 

Sementara Yani pergi, Rara terdiam dalam kebingungannya. Bingung dengan apa yang dirasakan saat ini. Entah saat ini ia merasa menyesal, atau merasakan sebuah kemenangan. 



#NulisBlog2016 #SobatLemINA